Friday, June 13, 2008

Education: Good Humans in the Making

Jean Jacques Rousseau, di dalam bukunya "Emile," menekankan hal yang paling penting di dalam pendidikan, yaitu bukan menjadikan seseorang sebagai dokter atau ahli hukum atau tentara, tetapi manusia terpanggil secara alamiah menjadi manusia sejati. Bagi Rousseau, manusia sejati adalah manusia yang baik. Walaupun konsep ini sudah diangkat ribuan tahun sebelum Rousseau oleh Plato di dalam "Republic," tetapi Rousseau lah yang memanggil kembali pendidikan modern kepada tujuannya yang sejati.

Bila diteliti lebih dalam, sebetulnya visi misi yang tercantum pada setiap institusi pendidikan memiliki tujuan yang sangat mulia. DI UUD'45 tertulis pada salah satu butirnya "Mencerdaskan kehidupan bangsa." Tetapi entah bagaimana visi misi mulia itu lost in translation ketika menyentuh alam nyata. Ada disconnect yang sangat serius antara ide dan praktek. Diyakini bahwa di dalam hati dan imajinasi setiap orang ada harapan bahwa institusi pendidikan akan membuat setiap muridnya menjadi manusia yang seutuhnya. Sayang kenyataan berbicara lain. Mungkin keruwetan birokrasi dan sistem pendidikan formal, mulai dari tingkat lokal sampai nasional membuat enggan para pendidik di lapangan untuk menghabiskan waktu berupaya menjadikan manusia sejati. Mungkin juga kekompleksan sistem assessment yang membuat orang sulit sekali mengevaluasi pancapaian learning setiap murid. Apapun itu, perbedaan mencolok ide-praktek itu tidak dapat ditutup2i lagi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa mengukur hal yang kualitatif bukanlah pekerjaan gampang. Para ahli pendidikan selalu mengalami kesusahan di dalam meng-absolute-kan suatu sistem assessment. Teori integrasi sumbangsih Ralph Tyler yang masih sangat berpengaruh bahkan sampai saat ini sudah mulai dikritik oleh konsep postmodern. Assessment terhadap hasil belajar bukanlah menjadi tujuan utama evaluasi pada era postmodern ini. Tingkat kompleksitasnya ditambah dengan assessment atas proses belajar. Ujian Nasional yang dicanangkan oleh pemerintah adalah usaha evaluasi demi mengetahui outcome murid2 pada sebagian kecil sektor inteligensia manusia saja. Itupun masih bisa di-breakdown menjadi wilayah2 inteligensia yang sangat kecil sekali. Yang mengerikan adalah hasil evaluasi itu dibuat ukuran untuk hal2 yang kualitatif. Misalnya, keahlian dan pengetahuan seseorang akan matematika berusaha diukur melalui UN ataupun SAt test. Di dalam tes2 itu, untuk standardisasi dan kemudahan pemeriksaan, maka dibuatlah instrument evaluasi yang dapat diperiksa secara masal dalam waktu yang sesingkat2nya. Pilihan instrument jatuh kepada multiple choice. Bayangkan saja, jika pilihannya jatuh kepada paper writing, maka siapakah yang akan memeriksa hasil ujian ribuan/ratusan ribu/jutaan murid itu? Nah, di dalam multiple choice format, ada banyak aspek tak terukur yang tidak dapat menjelaskan kemampuan seseorang. Misalnya, sekai lagi demi mempermudah pemeriksaan, maka digunakan suatu device tertentu supaya kertas hasil ujian dapat langsung di-scan oleh alat tersebut dan hasilnya akan didapat dengan segera. Tetapi jika hasil menghitamkan jawaban dengan pensil 2b itu keluar dari lingkaran atau tidak memenuhi seluruh lingkaran jawaban yang sudah disediakan, maka alat itu akan read error, yang disimpulkan sebagai "salah." Belum lagi cara akal2an negasi untuk mengisolasi jawaban yang "benar."&n bsp; Belum lagi bila murid menggunakan cara sepanjang abad "guessing." Maka bila tujuannya adalah untuk mengukur kemampuan seseorang akan matematika, maka instrument multiple choice adalah pilihan yang keliru.

Mengukur secara kuantitas berapakah jawaban benar murid atas sekian pertanyaan tidak mampu mengukur kualitas kemampuan murid itu. Misal, nilai 70 dari 100 akan menunjukkan kualitas apa? Ataupun nilai 100 dari 100 akan menunjukkan kualitas apa? Bukankah nilai 100 dari 100 hanya menunjukkan bahwa murid itu dapat menjawab dengan benar 100 pertanyaan itu. Misal, jika pertanyaannya ada 1000, apakah murid yang mendapat 100 dari 100 itu mampu menjawab benar 1000 dari 1000? Kalaupun dapat, apakah jawaban benar itu diketahuinya dan dipercayainya sebagai jawaban yang seharusnya dari pertanyaan yang diajukan? Bagaimanakah pengetahuan dan keyakinan internal seseorang dapat diukur? Ada yang bilang melalui konsistensi. Mungkin betul. Hanya saja, sistem assessment yang ada sekarang ini tidak mengukur konsistensi, alias tidak memandang kepada proses.

Tadi hanya berbicara kualitas kemampuan seseorang akan bidang matematika. Sekarang bagaimana dengan pengukuran kualitas seorang manusia? Apakah yang menjadi ukurannya? Sistem assessment, perlu diketahui, bukan hanya digunakan untuk mengukur student learning, tetapi juga untuk mengukur teaching, yang ujungnya adalah untuk mengukur keberhasilan janji institusi pendidikan. Dari sini dapat dilihat betapa vulnerable sistem assessment yang dijalankan sebab bisa dimanipulasi untuk mendongkrak reputasi institusi pendidikan. Misal, menggunakan konsep Tyler, sebagian besar prospective students yang diterima masuk di Harvard University adalah murid2 yang memiliki gpa tinggi dan berasal dari sekolah2 yang juga punya reputasi sangat baik. Maka jika pada graduation murid2 itu tadi juga memiliki gpa yang tinggi, bukankah hasil itu sudah dapat diprediksi dari awal murid itu masuk? Mungkin yang perlu dicoba adalah Harvard perlu membuka peluang untu k murid bahkan yang gpa nya jeblok, dan dicoba lihat apa hasilnya pada saat graduation-drop out atau lulus dengan honors? Bila untuk melalui seleksi yang boleh masuk adalah mereka2 yang masuk kategori "pintar" dan keluar juga masih kategori "pintar" maka ada sangat keliru bila menyimpulkan bahwa proses pendidikan di Harvard sangat baik. Bukankah jauh lebih lebih lebih baik bila satu institusi pendidikan menerima murid yang masuk kategori "bodoh" lalu ketika lulus murid itu sudah loncapt masuk kategori "pandai"? Itu hanya misal saja. Belum lagi bila manipulasinya sudah masuk kategori mendrill murid2 dengan soal2 yang memiliki similaritas sangat tinggi dengan soal2 ujian nasional, sehingga prediksinya murid2 yang ikut drill itu pasti akan bisa lulus UN dengan hasil di atas rata2. Maka sudah pasti reputasi institusi itu terdongkrak, dan makin banyak orang ingin masuk ke sana. Kembali kepada pengukuran kualitas manusia. Apakah yang diukur? Bagaimana mengukurnya? Mengukur kualitas manusia jauh jauh jauh lebih kompleks dan "impossible" dibanding dengan pengukuran kualitas bidang matematika. Bila untuk pengukuran kualitas pengetahuan dan keahlian bidang matematika saja sudah meleset terlalu jauh dari target, maka bukankah visi misi yang dicanangkan oleh institusi pendidikan itu hanyalah omong kosong belaka?

Mungkin institusi pendidikan perlu jujur mengakui kelemahan2nya, dan bukannya malah membuat janji2 yang setinggi langit. Memang benar pendidikan, baik formal, informal, maupun non-formal, terpanggil untuk mendidik manusia menjadi manusia sejati, tetapi setiap institusi pendidikan perlu mawas diri akan kemampuannya. Sayang sekali image bahwa pendidikan formal mampu membuat manusia yang baik, good humans, sudah menjadi keyakinan dari banyak orang. Apalagi "keagungan" dan otoritas pendidikan formal menjadi sulit dibantah lagi, maka kritik atasnya banyak kali dimentahkan dan dimuntahkan. Mengakui kelemahan justru menjadi kekuatan yang luar biasa, asal jangan dijadikan excuse untuk kesalahan yang dilakukan. Panggilan itu tetap, tinggal bagaimana mencapai panggilan itu sesuai dengan kemampuan yang ada, dengan setulus2nya.

No comments: