Friday, June 13, 2008

Education & Video Games

Penggunaan games untuk meningkatkan learning sudah banyak dipakai di arena pendidikan, baik formal, non-formal, maupuan informal. Tetapi penggunaan video games di dalam meningkatkan learning masih merupakan barang baru di dalam kosakata pendidikan. Beberapa sekolah di Amerika sudah memulai penggunaan video games untuk tingkat K12 education. Murid2 dibagikan playstation 1 untuk dipakai sebagai learning tools. Feedback yang didapat adalah sangat mencengangkan, kesaksian orangtua menyatakan bahwa anak2 mereka menjadi lebih termotivasi belajar dan academic outcomes mereka meningkat. Walaupun penggunaan video games untuk learning masih belum menarik perhatian banyak ahli2 pendidikan di dunia, tetapi gelagat menunjukkan bahwa di dalam waktu yang tidak terlalu jauh video games kemungkinan besar akan menjadi salah satu learning tool yang penting.

Di Amerika saja penjualan video games meningkat sangat tajam. Microsoft yang baru saja memulai bermain di arena video games console dengan Xbox nya, sudah menjual lebih 1,6 juta unit selama 3 tahun terakhir. Walaupun penjualan unit xbox tidaklah mampu mengejar Playstation 2 dan Nintendo Gamecube, tetapi diterimanya Xbox yang masih hijau ini menunjukkan peningkatan interest di kalangan masyarakat. Tahun 2005 ini 3 raksasa video games manufacturers itu telah berencana meningkatkan kompetisi mereka dengan mulai me market kan next generation console mereka. Microsoft sudah mulai sesumbar dengan kehebatan Xbox 2 nya, Sony mulai gembar-gembor dengan Playstation 3 nya, dan Nintendo juga tidak ketinggalan hendak mencoba ide game paling gress dengan Revolution nya. Peperangan next generation video games system untuk tahun 2005 ini sudah dimulai oleh Sony dan Nintendo dengan debut Sony PSP dan Nintendo DS handheld VG system yang diluncurkan pada akhir tahun 2004. Nintendo DS memenangkan pertarungan dengan konsep yang sangat kreatif, yaitu penggunaan 2 screens, touch screen, built in microphone, dan built in wireless system up to 16 players. Walaupun Xbox masih belum memasuki kancah peperangan VG handheld system, peluncuran Halo 2 membuat banyak orang melirik dan membeli Xbox system. Halo 2 adalah game yang mengandalkan teknologi online dan adalah suksesor dari game terdahulu Halo. Hanya dalam waktu kurang lebih 3 tahun, pengguna Halo dan Halo 2 telah menghabiskan waktu 91 juta jam total untuk bermain online. Singkat kata, konsep community learning diterjemahkan dengan baik oleh perusahaan video games dengan konsep team battle atau team mission nya. Pengguna PC juga tidak kurang menikmati kecanggihan teknologi ala online ini. MMORPG: Massive MultiPlayer Online Role Playing Game, adalah suatu genre tersendiri yang mencuat di dalam 5 tahun terakhir. Game PC Anarchy Online merupa kan game system yang sangat kompleks dan brilian, di mana diklaim ada sekitar 50000 players bermain pada waktu yang sama di satu server. Di dalam AO pemain dapat menjalankan misi sendirian atau bersama team. Konsep AO universe mencontoh kehidupan real dengan bumbu futuristik dan adventure flavor. Di dalam game ini, setiap pemain dituntut untuk learn the necessary knowledge and learn how to survive in the wild AO world. Game ini dikatakan sangat addictive oleh banyak pemainnya. Sama dengan game2 yang dimainkan di 3 video game consoles di atas. Jika satu game RPG rata2 meminta waktu 40-50 jam untuk mencapai akhir permainan, maka bisa dibayangkan waktu yang digunakan jika dalam satu console ada sekitar 100 RPG games. Ini baru RPG genre, dan belum genre2 yang lain. Xbox mengklaim bahwa untuk console nya saja ada 450 pilihan games. Sony PS2 diakui memiliki game terbanyak. Wow, isn't it?

Mungkin pembicaraan soal video games belum terlalu marak di Indonesia, tetapi di negara2 maju diskusi seputar video games sudah marak. Jepang, HongKong, England, USA, Canada, merupakan negara2 yang diketahui paling mengkonsumsi video games. Tidak heran, satu unit console harganya bisa mencapai 100-200 dolar. Belum lagi harga pergame bisa mencapai 20-50 dolar. Maka masyarakat di negara2 seperti Indonesia akan berpikir jutaan kali sebelum membeli satu console. Hanya orang2 kaya saja yang bisa memiliki dan menikmati teknologi ini di Indonesia.

Argumentasinya begini: jika anak menghabiskan waktu sangat banyak untuk bermain video game, dan jika anak termotivasi sangat kuat untuk bermain video game, dan jika anak secara tidak sengaja belajar banyak hal melalui bermain video game, maka mengapa tidak sekalian video game dimanfaatkan untuk learning tool bagi anak2? Argumentasi ini perlu dilihat dari banyak sisi. Para ahli pendidikan cukup hati2 untuk menentukan apakah satu hal dapat menjadi learning tool. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada genre2 game tertentu, anak2 bisa tertular dengan "evil" yang dibawa oleh game yang bersangkutan. MIsalnya game2 yang penuh dengan violance. Di Chicago tidak lama yang lalu walikota nya berusaha untuk banning game2 yang penuh dengan kekerasan dan yang memberikan suggestion untuk melakukan kejahatan. Usaha walikota Chicago in mendapat pertentangan keras dari dunia entertainment. Beberapa peneliti mencoba mencaritahu efek video games terhadap children's behavior. Ada pro dan kontra atas hasil penelitian. Ada yang mengatakan bahwa video games condoning violent behaviors. Tetapi sebagian lain mengatakan tidak ada korelasi. Perdebatan itu masih belum dapat diselesaikan dengan baik, dan kini penelitian atas efek video games makin dirasakan saja kepentingannya mengingat makin banyaknya konsumennya.

Di satu sisi ada yang berpendapat bahwa video games dapat menjadi learning tool yang luar biasa, di sisi lain ada yang mengatakan justru video games sangatlah berbahaya. Tidak dapat dipungkiri bahwa genre educational games tidaklah banyak. Yang mencengangkan pada 2 tahun terakhir ini adalah makin maraknya game2 yang membawa ide horor dan mistik di dalamnya. Karakter yang dimainkan bahkan ada yang mengambil karakter devil atau setengah devil, demon, vampire, atau juga criminals, gangsters, dll. Terlepas dari masalah karakter, ide game secara umum yang paling banyak adalah game yang mengetengahkan hack and slash model. Tidak peduli yang menjadi hero itu adalah manusia, monster, ataupun demon, dengan karakter baik ataupun evil, tetapi idenya adalah kill and destroy. Game2 seperti Halo, Zelda, Metroid, Final Fantasy, Xenosaga, Mortal Kombat, Jade Empire, Tekken, Metal Gear Solid, Resident Evil, dll, sangatlah digemari tetapi kesemuanya mem akai model hack and slash dengan alur cerita dan genre yang berbeda2. Apakah yang diajarkan kepada anak2 dengan model hack and slash ini? Tidak dapat disangkal bahwa pada genre lain, ada game2 yang menuntut pemain untuk menggunakan kemampuan intelektual nya. Game2 seperti Civilization, Animal Crossing, Harvest Moon, Sim City, dll masuk dalam kategori ini. Yang menyedihkan adalah munculnya game2 berbau pornografi yang cukup digemari di kalangan gamers.

Ide penggunaan video games untuk learning boleh jadi didapat dari penggunaan simulasi untuk pelatihan2 jenis2 profesi tertentu. Profesi pilot misalnya, atau astronot, polisi, tentara, dll, diketahui banyak menggunakan game2 simulasi di dalam training mereka. Ada kemungkinan kemajuan teknologi video games akan mencapai penggunaan seluruh panca indra pemain di dalam experiencing the games. Bila ini benar, maka bisa jadi video games akan menjadi makin berbahaya atau menjadi makin useful untuk kepentingan pendidikan. Tidak perlu dibicarakan lagi dari segi bahayanya. Dari segi useful nya, mungkin sekali akan sangat berguna untuk, misalnya training misi. Training misi dirangkai sedemikian rupa sehingga dapat disimulasikan, dengan tujuan supaya calon2 misionari itu dapat lebih siap ketika sungguh2 terjun ke ladang misi.

Tetapi para ahli pendidikan memang harus menimbang2 antara bahaya dan keuntungan yang mungkin dihasilkan oleh video games. Mungkin perlu diteliti efek2 konstruksi meaning di dalam mind para konsumen video games.

No comments: