Friday, June 13, 2008

Evangelism in Education

Banyak kali orang berpikir bahwa pendidikan adalah kendaraan berteknologi mutakhir untuk membawa penginjilan kepada anak2, remaja, maupun orang dewasa. Efektifitas penginjilan melalui pendidikan diharapkan sangat tinggi. Horace Bushnell mempelopori konsep pertobatan yang tidak radikal. Bushnell memprotes penekanan konsep penginjilan Kristen pada waktu itu yang terlalu menekankan kepada pertobatan radikal, yang bahkan syarat utama seseorang dinyatakan Kristen adalah bila mengalami pertobatan radikal. Pertobatan radikal hanya dimungkinkan melalui Roh Kudus yang merubah hati orang secara radikal. Implikasi dari konsep ini ternyata negatif. Banyak orang waktu itu membiarkan anak2nya berbuat semau sendiri tidak mendidik anak2nya secara Kristen sebab beranggapan bahwa semua usaha pendidikan adalah sia2 karena toh yang mempertobatkan adalah Roh Kudus. Maka jadilah anak2 orang kristen itu bertumbuh dengan "liar." Bushnell berargume ntasi bahwa orang bisa bertobat melalui pendidikan yang baik, sebab Tuhan juga mampu berkarya melaluinya. Perdebatan waktu itu terkenal dengan sebutan naturalisme vs supernaturalisme. Sayang Bushnell lari terlalu jauh, sehingga dia terlalu menekankan yang natural dan melupakan yang supernatural. Padahal kedua2nya adalah penting. Tetapi bagaimanapun juga argumentasi dia yang akhirnya membuka jalan kembali pendidikan Kristen yang sebelumnya dianggap mubazir.

Tetapi sekali lagi, banyak orang mungkin melangkah terlalu jauh juga sehingga "memperalat" pendidikan demi satu tujuan, penginjilan, sampai2 penginjilan lah yang terlihat sebagai paling penting-lebih penting dari hal2 yang lain. Presumsi ini juga ada di banyak kegiatan2 sosial Kristen. Ini menjadikan aksi2 sosial Kristen dicurigai oleh banyak pihak sebagai kendaraan kristenisasi.

Memang tidak dapat dipungkiri kalau pendidikan dapat dipakai sebagai tools canggih untuk menanamkan konsep2 keagamaan, khususnya kepada anak2. Kelihatannya pemerintah menyadari hal itu, dan mengisukan UU sisdiknas artikel 12a yang kontroversial itu. Di artikel tersebut pemerintah memindahkan tanggungjawab orang tua atau pihak2 berotoritas lainnya untuk mendidik konsep keagamaan kepada hak asasi anak2 di dalam menentukan pendidikan keagamaan yang hendak diterimanya. Di satu sisi artikel tersebut bisa dipandang untuk menjaga supaya pendidikan tidak diperalat untuk kristenisasi atau islamisasi atau hinduisasi, dll dll. Di sisi lain, bila pendidikan dimengerti-dan itu juga tersirat di dalam UU sisdiknas sendiri-bahwa pendidikan mencakup informal, non-formal, dan formal, maka aplikasi artikel itu adalah impossible sebab self destructive di dalam naturnya. Apalagi bila pendidikan itu dimengerti bahwa cakupannya melampaui verbal message. Masa lahnya menjadi bertumpuk, misal: bagaimanakah anak bayi yang masih belum bisa menentukan agamanya sendiri menyatakan hendak diajarkan pendidikan agama apa?

Pengisuan artikel itupun pada dasarnya telah melanggar hak orang tua, dan terlebih lagi membubarkan tanggungjawab orang tua dalam mengajarkan pendidikan agama yang dipercayainya. Bagaimanakah penegakan hak satu pihak dilaksanakan dengan pelanggaran atas hak yang lain? Ini tidak etis. Nicholas Wolterstorff dan Louis Berkhoff setuju pada pengertian bahwa hak dan tanggungjawab pendidikan, termasuk agama, pertama2 ada di tangan orang tua. Pemerintah boleh intervensi hanya jika hak dan tanggungjawab tersebut di-abuse. Filsuf era romantis, Jean Jacques Rousseau, juga mengutarakan hal yang sama. Banyak ahli agama dan para tokoh di Indonesia yang sudah menyatakan ketidak setujuannya atas disahkannya UU Sisdiknas itu. Salah satu alasannya adalah bahwa artikel tersebut memicu terbukanya pintu sekularisme pendidikan. Herannya pemerintah tetap saja mengesahkan UU tersebut tanpa benar2 memikirkan implikasinya.

Kembali kepada isu hidden agenda dalam pendidikan (formal khususnya), maka seharusnya institusi2 pendidikan Kristen menjalankan pendidikan secara genuine dan tidak menyimpan hidden agenda-evangelism. Hal inipun sulit, sebab walaupun institusi pendidikan kristen telah melaksanakan pendidikan secara genuine, pihak lain bisa pula "menuduh" proses kristenisasi sedang dijalankan. Agaknya masalahnya telah bergeser dari masalah genuine dan hidden agenda, kepada istilah "kristenisasi" sendiri yang telah disalahgunakan demi kepentingan beberapa kelompok. Sebetulnya, mau tidak mau, kristenisasi akan tetap berjalan walaupun pendidikan dijalankan dengan genuine. Ini sebab pendidikan tidak mungkin berjalan hanya di kelas, dan secara verbal saja. Modeling adalah satu metode yang sangat powerful di dalam pendidikan, dan metode ini tidak dipelajari oleh murid melalui verbal message. Maka jika di sekolah Kristen dilaksanakan doa atas nama Kristus-yang memang sudah semestinya-kristenisasi sudah berjalan. Kesimpulannya, istilah kristenisasi perlu diklarifikasi dan direformasi, sebab sudah sekian lama dijadikan alat propaganda pihak2 tertentu secara negatif.

Meskipun kristenisasi tidak bisa dipungkiri keberadaannya-sama seperti islamisasi di sekolah Islam atau hinduisasi di sekolah hindu dst dst-mitos yang perlu dipecah dalam hal ini adalah bila berpikir bahwa pendidikan pasti membawa orang kepada kebenaran sejati. Peran Roh Kudus tidak pernah bisa disingkirkan. Tanpa Roh Kudus bekerja di dalam hati manusia, maka manusia tidak akan pernah bersentuhan dengan kebenaran. John Calvin menekankan bahwa bahkan mereka2 yang menemukan kebenaran di dunia sains pun harus ada campur tangan Roh Kudus di dalamnya, kalaupun mereka2 itu tidak percaya kepada Tuhan. Maka baik yang supernatural maupun yang natural, dua2nya sama2 penting. Evangelisme pada dasarnya tidak mungkin disingkirkan di dalam pendidikan yang genuine, tetapi bila penekanannya hanya kepada evangelisme dan pendidikan hanya diperalat saja, maka di sana evil thriving.

No comments: