Friday, June 13, 2008

Kritik Terhadap Pendidikan Nasional

Dengan disahkannya UN di Indonesia, maka sebenarnya telah terjadi pergeseran fungsi sekolah formal. Tujuan sekolah yang seharusnya adalah sebagai wadah pelatihan, pembelajaran, dan pendidikan bagi warganegara, sekarang telah direduksi menjadi hanya tempat persiapan untuk dapat sukses menghadapi UN. Maka dapatlah diprediksi dengan 100% bahwa setelah terjadinya bencana pendidikan nasional di tahun 2006 ini, maka pada masa yang akan datang mentalitas guru, pihak administratif sekolah, yayasan, orang tua murid, murid sendiri, dan masyarakat luas adalah menyikapi sekolah formal sebagai wadah persiapan untuk menghadapi UN yang dianggap menyeramkan ini. Prediksi berikutnya adalah bahwa proses pembelajaran yang bakal dilakukan di sekolah2 adalah model, kalau tidak: 1. indoktrinasi/ memorisasi informasi yang membludak (melanjutkan banking system education), atau 2: mempelajari skema dan taktik menyiasati UN supaya semua murid bisa paling tidak lulus dengan angka 4, 27.

Kedua-dua model pembelajaran tersebut sama-sama mengingkari tujuan pendidikan yang mulia. Secara etis model yang pertama telah mereduksi manusia menjadi folder yang hanya berguna jika memiliki isi informasi yang sebanyak mungkin, atau direduksi menjadi memori komputer yang merupakan tempat penyimpanan data saja yang mana jika diperlukan informasi akan di retrieve sesuai keperluan. Manusia tidak lagi dipandang sebagai makhluk yang memiliki kapasitas dan kemampuan unik di dalam berpikir kreatif, menganalisa, mengkritik, menguji, mencoba, menemukan, berinteraksi, berkarya seni, berdaya imajinasi, dll dll. Dan model kedua mengacaukan moralitas dan integritas menuju kepada mentalitas "ends justify the means." Fungsi pendidikan formal secara total dirubahkan arahnya hanya karena disahkannya dan diaplikasikanya UN di tahun 2006 ini. Memang pasti ada peperangan dalam tingkat intelektual dan politis atas akibat wabah UN ini. Jika flu burung masih belum ditemukan obatnya, maka wabah UN ini seharusnya sudah diketahui obatnya. Hanya saja, untuk mengakui bahwa UN ini adalah wabah adalah bukan hal mudah di dalam "saving face culture" yang dianut oleh pemerintah Indonesia. Kelihatannya rakyat Indonesia, khususnya murid2 di Indonesia tidak akan pernah mendengar permintaan maaf dari depdiknas, apalagi dari mendikbud. Obatnya adalah persis dengan apa yang telah diproteskan oleh banyak orang di jakarta, yaitu hasil UN harus ditiadakan. Atau lebih jauh lagi, UN harus dihapus.

Sehubungan dengan UN, yang aneh adalah sistem kurikulum berbasis kompetensi akan diganti lagi dengan sistem kurikulum yang lain. Protes yang muncul sebelum UN disahkan adalah menyatakan bahwa UN sama sekali tidak konsisten dengan sistem KBK yang dicanangkan oleh pemerintah sejak 2 tahun lalu. Entah ini hanyalah kebetulan atau memang sudah direncanakan jika KBK sekarang digantikan oleh model kurikulum baru (yang entah apa itu nanti setelah di"wahyu"kan oleh pemerintah) karena tidak konsisten dengan UN?

Jika hendak didetil, maka betul2 sangatlah mengherankan jika kelulusan (atau baca kapasitas dan kemampuan berpikir serta keahlian) murid yang didapat dari proses pembelajaran selama kurang lebih 3 tahun itu ditentukan hanya oleh UN yang hanya digantung di atas fisika, matematika, dan bahasa yang notabene hanya dikerjakan selama kurang lebih 2 jam. Di dunia orang normal manapun, seharusnya potret macam begini adalah potret insanity yang timbul dari UN.

No comments: