Friday, June 13, 2008

Moral Education

Sejak moral development theory diluncurkan oleh Lawrence Kohlberg, maka rujukan ahli2 pendidikan dalam pendidikan moral adalah 6 stages-3 levels milik Kohlberg. Sayangnya, Kohlberg sendiri tidak memiliki moral yang baik. Kehidupannya dipenuhi dengan hal2 yang menyedihkan, dan pada akhirnya dia membunuh dirinya sendiri. Kematiannya mengguncang Harvard University waktu itu.

David Purpel mengulas kemerosotan drastis pendidikan moral di Amerika. Salah satu pernyataannya yang penting: “The public is trying to grasp what is fundamental to life, liberty, and the pursuit of happiness, and in response educators give them more standardized tests; the culture yearns for meaning and hope, and the schools suggest more homework and a longer school year. The world teeters on the edge of a new holocaust, and our leaders urge us to consider merit pay” (Purpel, David. 1989. The moral & spiritual crisis in education: a cu rriculum for justice & compassion in education. p. 22). Pendidikan formal tidak menjawab kebutuhan moralitas manusia. Justru beban training skills and knowledge diperbanyak dengan harapan meningkatkan kualitas manusia, yang tujuannya (in dream) adalah menjadikan manusia dengan moralitas yang baik. Usaha ini bisa diilustrasikan dengan gambaran seseorang bermain basket dengan membawa raket tenis. Stephen Tong menunjukkan satu hal yang sangat penting di dalam pendidikan; yaitu ada 4 macam orang: bodoh dan jahat, pandai dan jahat, bodoh dan baik, pandai dan baik. Pertanyaannya: bagaimanakah urutan dari yang paling baik ke paling buruk? Jawabannya: pandai dan baik, bo doh dan baik, bodoh dan jahat, pandai dan jahat. Lebih baik orang itu bodoh jahat daripada pandai jahat, sebab kerusakan yang mungkin ditimbulkan dari si pandai jahat jauh lebih celaka daripada si bodoh jahat. Hal ini lucu sekaligus benar. Sedihnya, respon pendidikan formal justru lain. Dengan diskriminasi pandai bodoh a la institusi pendidikan, maka urutannya (dari yang baik ke buruk) adalah: pandai baik, pandai jahat, bodoh baik, bodoh jahat. Seorang alumnus Harvard University pernah mengatakan bahwa dia sangat tidak suka dengan efek negatif dari kultur kompetisi yang hidup di Harvard. Banyak murid2 berupaya jahat sekalipun demi bisa mendapatkan ranking yang tertinggi. Sebab pada ranking yang atas peluang untuk mendapatkan segala kemudahan-baik di jalur akademik maupun nantinya di jalur profesional-dapat diisolasi dengan baik. Kejahatannya bahkan sampai pada level menghalangi murid lain untuk dapat menyelesaikan assignment yang diber ikan oleh profesor mereka. Memang kesaksian almunus ini tidak dapat digeneralisasi terlalu luas, tetapi pengalaman dia sangat penting untuk dijadikan pertimbangan yang serius. Pada kenyataannya, seperti yang ditekankan oleh Purpel di bukunya, pendidikan moral di Amerika sudah sangatlah merosot sedangkan pendidikan untuk skills and knowledge menunjukkan peningkatan yang tajam. Akibatnya, muncul banyak orang pandai tetapi moralnya tidak terpoles sama sekali, apalagi ditambah dengan meningkatnya angka perceraian yang berefek kepada merosotnya pendidikan moral keluarga yang berdampak kepada meningkatnya seks bebas dan penggunaan obat2an narkotika dan juga peningkatan vandalisme di kalangan remaja.

Teori Kohlberg memberikan kontribusi yang sangat penting di dalam metode pendidikan moral. Nicholas Wolterstorff merangkumkan metode itu dengan sangat baik sekali. Urutan metode itu berbanding sejajar dengan 3 levels of moral development milik Kohlberg. Anak2 (level 1) sebaiknya ditekankan pendidikan moral dengan metode disiplin. Remaja (level 2) sebaiknya ditekankan pendidikan moral dengan metode modeling. Dewasa (Level 3) sebaiknya ditekankan pendidikan moral dengan metode reasoning. Disiplin adalah "bahasa" yang paling dipahami oleh anak2. Jika remaja terlalu ditekankan disiplin, maka hasilnya justru pemberontakan. Tetapi jika pada anak2 ditekankan reasoning, maka hasilnya ada frustasi dari dua b elah pihak. Walaupun disiplin, modeling, dan reasoning tetaplah cross-age sifatnya, tetapi kontribusi Kohlberg-Wolterstorff adalah pada penekanan yang perlu diberikan pada setiap level properly.

Thomas Groome memberikan tambahan yang sangat baik, yaitu praxis di dalam pendidikan agama, yang di dalamnya terkandung konsep moral yang dalam. Konsep praxis Groome sangatlah unik. Urutan metode dia bisa diabreviasi menjadi DRIEP: Describe-Reflect-Instruct-Evaluate-Practice. Metode ini bisa dilaksanakan pada semua level, mulai anak2 sampai dewasa, with necessary adjustments. Di dalam metode DRIEP tersebut, ada 2 level yang sedang bermain-my story and God's story. My story dan God's story disandingkan berjajar untuk menemukan pemahaman dan aplikasi nyata di dalam kehidupan setiap peserta. Secara overall, untuk metode ini bisa berjalan dengan baik, guru/pendidik harus mampu berperan sebagai seorang fasilitator dialog yang baik. Deskripsi, refleksi dan evaluasi memberikan bagian proses internalisasi konsep moral, dan instruksi memberikan bagian proses pemberian arah dari otoritas. Pada akhirnya semua pergumulan tersebut perlu dibawa kepada praktek nyata, yang pada pertemuan berikutnya dideskripsikan lagi dst dst.

Bila melihat kepada "tingkah laku" pendidikan formal, maka personal touch makin lama makin hilang. Hal ini berkontribusi besar kepada merosotnya pendidikan moral. Bila metode pendidikan moral yang baik seperti yang diluncurkan oleh Kohlberg-Wolterstorff-Groome, maka personal touch antara guru & murid, murid & murid, orang tua & guru, orang tua & murid, orang tua & orang tua, guru & guru, haruslah berjalan dengan baik. Di era individualisme seperti sekarang ini, masing2 pihak hidup di dalam alamnya sendiri2 dan berteriak "MIND YOUR OWN BUSINESS" kepada siapapun yang berusaha menjalin relasi lebih dalam. Bahkan anak2 terkena imbas individualisme ini. Herannya, justru dunia video games malah lebih mengerti kebutuhan community learning dibanding dengan pendidikan formal, yang notabene tempat cikal bakal peluncuran istilah community learning. Handheld console yang baru diluncurkan oleh Nintendo, Nintendo DS, memberikan perangkat komunikasi wireless dan online-community gaming experience built-in. Masalahnya kembali kepada sistem pendidikan formal yang sedang berjalan. Apalagi ditambah dengan kebutuhan sekolah mengumpulkan dana, dan lebih jauh lagi-bila sekolah dijadikan bidang usaha pengeruk profit, maka satu kelas satu guru yang seharusnya kapasitasnya tidak boleh lebih dari 25 murid, dipenuhi sesak dengan sampai 100 murid. Bukankah secara ekonomi yang 100 jauh lebih profitable? So smart yet stupid. Sebab dengan demikian maka kualitas pendidikan dikorbankan demi angka fulus. Tentunya tidak semua demikian, sebab memang pada kenyataannya ada sekolah2 yang betul2 kekurangan tenaga pendidik sedangkan jumlah murid membludak. But why? Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu kontribusi persoalannya adalah tidak populernya profesi guru dengan gajinya yang rendah dan esteemnya yang tidak kalah rendahnya. Problematika ini perlu dicermati dan ditanggapi dengan serius oleh institusi2 pendidikan dan pemerintah. Mungkin jawabnya ada pada pengangkatan esteem profesi guru yang sudah sekian lama direndahkan-walaupun ditinggikan secara applause.

Personal touch? Wasting time? Justru bila pendidik mengerti betapa pentingnya personal touch, maka tidak sedetikpun waktu terbuang di dalam menjalankannya. Kritik Patch Adams terhadap dunia kedokteran waktu itu adalah menjadikan pasien sebagai benda mati yang hanya dilabeli sesuai dengan nama penyakitnya. Padahal manusia punya kebutuhan lebih daripada hanya treatment untuk penyakit yang dideritanya. Adams mengatakan bahwa bila pasien nya yang di "treat" maka hasilnya pasti "win," tetapi bila hanya penyakitnya yang di treat maka hasilnya fifty2-win or lose. Demikian juga di dunia pendidikan. Personal touch membuka jalan untuk pendidikan moral yang baik.

No comments: