Friday, June 13, 2008

Polemik Pendidikan

Di Indonesia memang angka drop out untuk anak2 usia di bawah 14 tahun sangat tinggi dan cenderung meningkat setelah krismon tahun 1998 menghantam Indonesia. Penelitian oleh seorang professor di University of Michigan melaporkan adanya peningkatan mempekerjakan anak2 di bawah umur. Kebanyakan masyarakat tingkat ekonomi bawah mengorbankan sekolah anak2 mereka yang di bawah 14 tahun dan mempertahankan sekolah anak sulung, karena yang sulung merupakan investasi untuk harapan masa depan ekonomi keluarga.

Hal2 seperti ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah dan banyak lembaga2 pendidikan. Yang menyedihkan adalah pelaksanaan pendidikan di Indonesia makin lama makin bergeser menjadi usaha bisnis. Sehingga mereka yang upper-middle class sajalah yang bisa bersekolah. Kalaupun lower class mendapatkan kesempatan bersekolah, selain jumlahnya tidak banyak, juga biasanya mendapatkan kualitas pendidikan yang kurang baik. Kualitas sekolah sudah berbanding sejajar dengan kuantitas uang. Makin banyak uang maka sudah seyogyanyalah makin berkualitas sekolahnya.

Walau memang tidak dapat dipungkiri bahwa faktor dana merupakan salah satu hal yang sangat penting di dalam melaksanakan pendidikan, tetapi sangatlah disayangkan bila alokasi dana apbn kurang menunjang pendidikan, yang mana sangat membutuhkan subsidi dalam jumlah sangat besar. Belum lagi bila berbicara mengenai gaji guru. Guru di "bombongi" dengan gelar "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa" tetapi lalu ditekan dari sisi gaji. Bombongan itu berreferensi kepada hal moral yang notabene disebut pengabdian. Asumsinya adalah bahwa yang namanya pengabdian itu identik dengan gaji rendah/sangat rendah. Ini merupakan aib besar bagi pengembangan/perkembangan dunia pendidikan. Janji pemerintah untuk meningkatkan gaji guru secara drastis, yang tertulis di kompas tahun lalu, menjadi minimum 10 juta dan maksimum 35 juta mulai dari guru sampai guru besar, hanyalah slogan yang tidak kunjung ada implementasinya. Bukan hanya itu, tetapi proklamasi slogan itu pun misleading dan hanya menimbulkan kekacauan seputar tenaga kerja dan peluang kerja di lapangan. Ini semua karena pemerintah tidak jeli dalam menangani masalah2 sosial dan pendidikan. Entah bagaimana orang2 jenius itu bisa sampai duduk di kursi pemerintahan tetapi tidak memberi dampak positif baik secara lokal maupun dalam tingkat nasional, apalagi internasional.

Lalu bagaimana dengan lembaga2 Kristen? Berbicara mengenai keiikutsertaan lembaga2 Kristen dalam kancah pendidikan merupakan slippery slope. Di satu sisi kontribusi positif lembaga2 Kristen tidak dapat dipungkiri, tetapi di sisi lain kontribusi negatifnya juga menggunung. Banyaknya bermunculan sekolah2 Kristen dengan kualitas yang baik sangat menunjang penyediaan pendidikan yang baik bagi generasi mendatang. Tetapi kenyataan bahwa yang dapat bersekolah di sana hanyalah level orang2 upper-middle class economy malah menambah dalam dan lebar jurang pemisah dengan mereka yang tidak mampu. Bila perkembangan pendidikan ini berjalan seperti ini dalam satu atau dua dasawarsa maka generasi mendatang tetaplah tidak akan mampu menyelesaikan masalah laten antara yang kaya dan yang miskin.

Ini disebabkan karena sistem struktur masyarakat, khususnya dalam sektor tenaga kerja, berjalan sejajar dengan sistem struktur sekolah. Itulah sebab Ivan Illich dengan keras berargumentasi untuk "Deschooling society." Jika yang dapat bersekolah di sekolah berkualitas baik hanyalah orang2 yang kaya, dan jika yang mampu menduduki jabatan2 penting hanyalah mereka yang lulus dari sekolah2 yang berkualitas baik, maka suara grass root tidak akan pernah dianggap penting. Maka karena yang miskin tetaplah "bodoh" dalam standard mereka yang kaya, maka yang kaya atau yang pintar-yaitu yang menduduki jabatan2 penting itu-berupaya untuk mengajarkan atau mendidikkan (baca: mengindoktrinasi) pengertian2 tertentu kepada yang bodoh. Masalah ini sudah pernah diangkat oleh Paulo Freire dalam "Pedagogy of the Oppressed" nya. Banking education adalah bentuk penjajahan lain yang menjajah intelektual. Ujung2nya adalah masalah power, dignity, pride. Ora ng2 yang pada akhirnya mampu lulus dari sekolah berkualitas mampu pula mengamankan upper-middle position yang sebagian besar tanggungjawabnya-disadari atau tidak-adalah menjalankan sistem kontrol yang sudah berjalan di masyarakat. Sedangkan orang2 yang tidak mampu lulus dari sekolah berkualitas, apalagi mereka yang tidak mampu bersekolah, hanyalah berfungsi sebagai "the oppressed" di dalam sistem kontrol yang ada. Mereka lahir oppressed, hidup tetap oppressed, dan sampai matipun oppressed.

Maka jika Kristus membawa pembebasan kepada manusia, seharusnya dampak pembebasan ini juga menyentuh dunia pendidikan. Freire menawarkan cara dialog untuk jalan membebaskan mereka yang tertindas melalui pendidikan. Di dalam dialog ada honor, respect, love, equal rights and duty, dan trust. Jika melihat kelompencapir a la Suharto dulu, maka itu bukanlah dialog, melainkan itu adalah sidak dari penguasa kepada orang yang dikuasainya sekaligus sebagai proklamasi kekuasaan dia. Suharto bertindak sebagai "Sang Arif dan Bijaksana" yang mempunya jawaban atas segala pertanyaan para peserta kelompencapir. Walaupun sisi negatif kelompencapir itu sangat tinggi, tetapi coba lihat, betapa para peserta kelompencapir itu sudah merasa sangat dihormati karena didatangi oleh penguasa tertinggi mereka? Ketika Kristus datang ke dunia, dia tidak datang di istana raja, tetapi di tempat yang paling tidak layak untuk melahirkan. Dia tidak juga berkumpul dengan para arif bijaksana raja2, walaupun dia jauh lebih bijak daripada Salomo. Di dalam hidupnya dia berdialog dengan orang2 tertindas, dan dialah yang memimpin mereka kepada kebenaran yang membebaskan. Maka Tuhan Yesus tidak memilih rasul2nya dari kelompok elit sanhedrin, orang farisi, atau ahli taurat, melainkan dari orang2 tertindas itu-para nelayan dan pemungut cukai. Hanya satu yang dipilih khusus yaitu Paulus, salah satu yang termuda dari kelompok Farisi.

Pendidikan perlu dipikirkan secara luas dan dalam, baik strategi maupun dampak2nya. Elliot Eisner memberikan WARNING kepada educators di dalam merancang kurikulum. Bahwa penyusunan kurikulum sangat perlu dilakukan dengan ekstra hati2 dan karena itu memerlukan waktu yang tidak sedikit dan tanggungjawab yang sangat tinggi. Dia bilang bahwa bahkan untuk hanya tingkat distrik saja penyusunan kurikulum yang dilaksanakannya membutuhkan waktu 3 tahun, dan setiap tahunnya perlu dievaluasi karena pasti ada kelemahannya.

Kebutuhan akan social science research untuk meneliti hal2 seputar pendidikan harus ditangkap oleh para elit dunia pendidikan. Jika model pendidikan di Indonesia hanya berakhir pada profesional training semata, maka selama-lamanya Indonesia akan menjadi kelompok tertindas yang hanya menjalankan ide2 dan teori2 negara barat. Pendidikan di Indonesia perlu berani mengambil langkah untuk mulai mengarahkan perhatiannya kepada riset2 yang fungsinya membangun teori. Apa yang pernah dilakukan oleh Dr. Lukas Musianto (almarhum) di dalam meneliti budaya surabaya yang unik adalah riset berharga dan terhormat yang seharusnya terus digalakkan di Indonesia, yang pada akhirnya memberikan kontribusi tak ternilai kepada perkembangan ilmu pengetahuan. Untuk mengadakan riset2 seperti itu dana yang dibutuhkan tidaklah sedikit. Adakah lembaga2 yang menyadari kepentingan riset2 seperti itu dan bersedia menyediakan dana yang memadai?

Para ahli2 budaya di negara2 maju sekarang makin banyak mendatangi negara2 di asia afrika untuk mengadakan ethnographic research guna memahami keunikan budaya yang ada. Sangat heran jika melihat banyak sekali jurnal2 dan buku2 yang terbit mengenai budaya2 asia afrika adalah hasil karya orang2 eropa dan amerika, sedangkan yang karangan orang sendiri sangat minim. Hal ini pada analisa terakhir juga terkait dengan sistem kontrol untuk para cendekiawan. Para cendekiawan di Indonesia mengalami tuntutan yang luar biasa sehingga mencapai limitasi mereka, dan akhirnya mau tidak mau tidak ada waktu lagi untuk mengadakan riset, apalagi menulis buku. Kalaupun sempat menulis jurnal, maka seringkali hasil tulisannya tidak mencapai kualitas yang semestinya orang tersebut bisa tulis.

Pada akhirnya masalah2 pendidikan tidak terlepas dari masalah2 politik, sosial, budaya, dan bahkan keagamaan. Hal2 ini bisa dieksplorasi satu persatu dan ditelaah lebih lanjut untuk berusaha memahami problematika yang ada dan diharapkan bisa memberi solusi yang progresif dan menyeluruh untuk polemik pendidikan di Indonesia.

No comments: