Friday, June 13, 2008

Hopeless Education?

Apakah menjalankan pendidikan yang baik di Indonesia hanyalah usaha menjaring angin? Lebih jauh lagi pertanyaannya, apakah akar pendidikan di Indonesia? Apakah keunikannya dibandingkan dengan pendidikan model yunani, jerman, dan amerika? Bagaimanakah orang Indonesia belajar? Apakah perbedaan budaya memberikan varian yang khusus kepada proses belajar orang2 Indonesia? Bagaimanakah para ahli pendidikan di Indonesia menjawab problematika pendidikan?

Mengapa orang bersekolah? Apa yang menjadi tujuan utama orang2 bersekolah di Indonesia? Untuk mendapatkan knowledge? Untuk apakah knowledge itu? Apakah hanya untuk job security? Ataukah untuk berkontribusi positif kepada kehidupan umat manusia? Jika dilihat dari pertumbuhan fakultas2 di universitas2 dan menjamurnya sekolah2 non-formal di Indonesia, kelihatannya lebih ke arah job security dibandingkan dengan demi kebaikan umat manusia. Apa sih yang ada di alam imajinasi masyarakat mengenai sekolah dan bersekolah? Apakah sekolah adalah sarana mencapai keberhasilan di era industri? Atau apakah sekolah dipandang sebagai salah satu wadah pembelajaran menjadi manusia yang seutuhnya? Salah satu? Ya salah satu, sebab sekolah memang dan seharusnya memang bukan satu2nya wadah pendidikan, apalagi dipandang identik dengan pendidikan. Sekolah hanyalah suatu institusi formal yang ditata sedemikian rupa untuk menjala nkan satu dua fungsi pendidikan. Kalau sekolah hanya salah satu, lantas apakah wadah yang lain? Ada lembaga keagamaan, ada kehidupan bermasyarakat, dan yang paling penting adalah keluarga.

Pendidikan dimulai dari keluarga. Di sanalah nilai2 hidup dipelajari mulai dari tingkat yang paling sederhana sampai pada tingkat yang paling kompleks. Menurut Jean Piaget, orang secara umum akan mencapai level berpikir kompleks pada usia 12-an tahun. Orang mengkonstruksi worldview dimulai dari penyusunan kategori sederhana sampai pada pemetaan kategori2 termasuk sistem revisi peta kategori itu sejak usia 0 tahun sampai 12 tahun itu. Lewat 12 tahun, proses berpikir seseorang dan grid kategori yang terbentuk biasanya tidak lagi mengalami terlalu banyak rekomposisi. Yang sering terjadi adalah penambahan dan pengurangan sub-kategori2 di dalam grid kategori yang sudah terkomposisi. Bila sampai grid kategori itu di-challenge setelah grid nya makin dibakukan, maka biasanya terjadi konflik internal yang cukup berat. Outcome dari konflik internal tersebut bisa bermacam2. Ada yang keluar dari disequilibrium itu mencapai reequilibrium yang harmonis, ada juga yang tidak pernah mengalami reequilibrium. Jadi, ada yang hasilnya seseorang menjadi makin bijaksana, tetapi ada yang menjadi frustrasi, stress, depresi, dll. dan bahkan ada yang menjadi sakit jiwa atau mengambil tindakan2 yang sangat irasional. 12 tahun masa pendidikan itu amatlah krusial sifatnya. Pertanyaannya, tentunya, adalah, bagaimanakah pendidikan dijalankan pada masa2 itu?

Sekarang, di Indonesia sangatlah menjamur playgroup2 didirikan. Sekolah2 yang sifatnya sebagai akselerator juga tidak kurang jumlahnya, yaitu seperti kumon, aritmatika, mega-brain, dll dll. Ada kemiripan dari playgroup dan sekolah2 akselerator itu, yaitu bertujuan untuk mengakselerasai proses pencapaian level berpikir seseorang. Jika dulunya secara natural seseorang dapat menyusun satu kalimat sederhana dengan grammar yang benar pada usia 3 tahun, maka sekarang diusahakan kalau bisa umur 2 tahun sudah bisa bilingual atau trilingual bahkan. Jika dulunya secara natural seseorang bisa berpikir abstrak pada usia 12 tahun, maka sekarang usia 5 tahun pun sudah diharapkan bisa berpikir abstrak. Dan itulah yang dibuat ukuran apakah seseorang itu pandai atau bodoh. Para orang tua suka membanggakan diri bila anak2nya masuk kategori "pandai" itu. Padahal dalam hal ini, pengukuran pandai atau bodoh itu kan hanya kognitif saja, itupun hanya kep ada kemampuan linguistik dan logika saja. Bagaimana dengan personal intelligence? Bagaimana dengan bodily kinesthetic intelligence? Bagaimana dengan musical intelligence? Bagaimana dengan spiritual intelligence (masih digumulkan oleh Gardner)? Maka seharusnya kita berhati2 dengan label pandai atau bodoh itu, sebab image label itu tidak berhenti hanya pada kognitif yang berfokus kepada linguistik dan logika. Bila seseorang diberi label bodoh, maka image-nya menguasai seluruh hidup orang tersebut. Dalam bahasa gampangnya, berarti orang itu tidak bisa apa-apa.

Dalam hal ini, sistem sekolah sedang menjalankan sistem penilaian secara diskriminatif dan tidak adil. Jika masyarakat mengikuti sistem sekolah, maka sistem penilaian masyarakat juga sama2 diskriminatif dan tidak adil. Di sinilah keKristenan seharusnya bersinar dan bukan ikut2an mengadopsi sistem yang celaka seperti ini. Mungkin perlu lembaga2 pendidikan Kristen mulai memikirkan sistem penilaian yang adil dan benar. Mungkin perlu lembaga2 pendidikan Kristen mulai memikirkan sistem pendidikan yang benar-mulai dari yang informal, non-formal, dan formal. Dan tidak bisa satu orang yang melakukannya, tetapi usaha kolaborasi yang diperlukan. Lebih lagi, mungkin juga tidak bisa satu denominasi yang melaksanakan, melainkan harus usaha kolaborasi lintas denominasi. Atau bahkan mungkin, lebih jauh lagi, perlu usaha kolaborasi lintas agama dan budaya.

No comments: