Friday, June 13, 2008

Scholar or Pastor?

Dari banyak penelitian dan penelitian yang saya lakukan sendiri bersama rekan saya, muncul findings yang cukup mencengangkan tentang profil hamba Tuhan. Longdong menyinggung mengenai profil ideal hamba Tuhan yang seharusnya selain punya attitude pastor tetapi juga seharusnya memiliki attitude scholar. Findings yang kami temukan justru kebalikannya. Di Amerika ternyata mereka2 yang disebut pastor lulusan seminari adalah scholars yang luar biasa. Kenyataan ini membuat gereja2 komplain besar2an kepada seminari. Banyak yang juga akhirnya bersikap skeptik terhadap seminari dan akhirnya mengembangkan non-formal education di dalam gereja sendiri untuk memenuhi kebutuhan akan hamba2 Tuhan yang pastoral. Dari semua yang kami interview, menjawab dengan kompak bahwa pendidikan di seminari tidak memperlengkapi para lulusan dengan bekal yang cukup untuk "menjawab" ataupun "menghadapi" masalah2 di dalam gereja secara riil. Ada beberapa yang se cara spesifik mengatakan bahwa tuntutan akademis di seminari membuat para hamba Tuhan ini terbentuk attitude scholar-nya, dan kehilangan pastoral touch nya. Dan akhirnya malah menjadi problem di gereja dan bukannya menjadi problem solver.

Adalah baik untuk para pastors tersebut dapat memiliki tingkat berpikir scholar dan sekaligus masih tetap pastoral. Sayangnya pendidikan di seminari seringkali sulit menciptakan harmony antara keduanya. Bila ditelusuri kemungkinan2 penyebabnya, maka mungkin sekali disebabkan oleh komposisi dan requirement faculty nya sendiri. Untuk bisa mengajar di seminari, rata2 harus punya Ph.D (mungkin di sinilah perbedaan mencoloknya dengan konteks Indonesia - walaupun di Indonesia juga berangsur2 menuju ke arah yang sama) dan harus mampu untuk engage dengan scholarly community - dalam arti menulis jurnal, buku, memberi seminar, dst dst. Training untuk mendapatkan Ph.D masih, mau tidak mau, sangat bermodelkan Plato's academy dan German Universities, di mana cognitive apprehension menjadi yang terutama. Tidak heran jika assignments yang diharuskan adalah sangat "ivory tower ish." Hasilnya, para calon2 pastor itu diberi tugas menulis paper dengan st andard akademik sangat tinggi (penuh dengan footnotes dan kutipan2 referensi2 para ahli, plus argumentasi logis yang philosophical, dan disertai dengan konsep2 teoritis). Maka jika ada yang membuat paper secara aplikatif dan pastoral, mark untuk grade nya bisa rendah atau bahkan fail. Consequently, outcome yang dihasilkan adalah para scholar yang punya sebutan pastor tetapi yang tidak pernah ditraining pastoral sama sekali. Ketika mereka2 ini masuk ke gereja, mereka punya confidence yang luar biasa bahwa mereka2 ini mampu menyelesaikan masalah di gereja - bukankah sudah di training oleh yang terbaik dan sudah mencapai academic excellence. Kenyataannya, terjadi disconnect yang sangat dalam. Mereka2 ini sangat2 terkejut dengan apa yang mereka hadapi di lapangan. Tidak ada skill dan knowledge yang didapat selama 4-5 tahun di seminari yang fit dengan permasalahan gereja. Kompensasinya adalah, hal ini logis, mereka2 ini mencari penyaluran d ari skill dan knowledge yang mereka sudah achieved dengan penghargaan akademik - daripada membuang semua skill dan knowledge dan memulai dari dasar lagi. Penyaluran paling kelihatan ada pada sermon dan sunday school teaching. Maka informasi yang mereka dapat dari seminari ditransfer melalui dua media tsb, yang hasilnya seringkali adalah indoktrinasi.

Yang saya sebutkan adalah kenyataan di hampir semua evangelical churches and seminaries. Semua pastors yang kami wawancarai menyatakan sangat2 tidak puas dengan pendidikan di seminari yang irrelevant dengan konteks gereja. Mereka semua mengajukan supaya seminari mempekerjakan mereka2 yang sudah paling tidak berpengalaman di gereja selama 10-15 tahun untuk mengajar calon2 pastor.

Alangkah baiknya bila harmony di antara keduanya bisa dicapai dengan baik. Dan oleh karena itu diperlukan evaluasi atas kurikulum seminari secara kesuluruhan - termasuk pada masalah perekrutan faculty. Yang paling sulit nantinya adalah perancangan kurikulum baru yang lebih baik secara keseluruhan dan implementasinya di tengah2 kurikulum lama yang masih sedang berjalan. Mungkin sekali diperlukan training2 tertentu untuk para professors supaya bisa keep up dengan kebutuhan gereja.

Secara historis, banyak kaum evangelical yang mengacu kepada era reformasi di mana pada masa itu memang cognitive apprehension sedang menjulang dan berjaya--yang diinaugurasikan oleh Martin Luther dan John Calvin. Tetapi yang seringkali luput dari pengamatan adalah konteks waktu itu. Apa yang sangat ditekankan di era reformasi memang tidak dapat dipungkiri adalah hal yang sangat baik untuk umat Kristen tidaklah "bodoh" tetapi dapat memiliki pengertian yang baik akan doktrin2 dan ajaran2 Kristen yang benar dan baik. Tetapi overemphasizing the one and neglecting the other berakibat fatal. Salah satu akibatnya adalah munculnya perpecahan antara fundamentalisme dan liberalisme. Konteks era reformasi adalah tindakan pembodohan oleh beberapa elit gereja atas jemaatnya - dan hasil terburuknya ada pada penjualan surat indulgensia demi memenuhi kebutuhan pembangunan gereja St. Peter. Pada titik itulah Tuhan mencerahkan Luther dan memberika n keberanian yang luar biasa pada Luther untuk berdiri menentang tindakan para elit gereja itu dengan 95 dalil yang dipakukan di pintu gerbang gereja Wittenberg dan "diet of worms" nya di hadapan tua2 gereja. Bila penekanan atas cognitive apprehension di era reformasi ini dilepas dari konteksnya maka hasilnya adalah gereja yang kering kerontang bagaikan hard science yang tanpa perasaan. Mengikis kecondongan kaum evangelical yang mewarisi adopsi reformasi dengan kelewatan bukanlah hal mudah. Masih ada saja yang bersikukuh pada overemphasizing cognitive apprehension a la reformasi, dan kurang atau bahkan tidak menyentuh affective dan behavioral domain. Stephen Tong, salah seorang yang saya kagumi, memulai langkah secara eksplisit reformasi gerakan reformed dengan menekankan semangat injili - affective and behavioral domain - untuk melengkapi cognitive domain era reformasi. Gerakan reformed injili bukanlah gerakan sempurna, tetapi ini adalah lan gkah yang sangat baik di dalam menuju kepada harmonisasi antara domain2 penting dalam natur manusia.

Mungkin yang diperlukan oleh kaum evangelical adalah belajar dari katolik dan kaum liberal. Katolik sangat luar biasa dalam mystical apprehension nya, dan kaum liberal sangat baik dalam cultural and social apprehension. Salah seorang yang sangat saya kagumi di Indonesia adalah Romo Mangun (almarhum). Beliau adalah seorang agamawan dan budayawan yang terjun langsung memenuhi panggilan budaya. Di Amerika, salah satu tokoh yang luar biasa adalah Martin Luther King Jr. dengan non-violent movement nya. Jika pendidikan di evangelical seminaries boleh semakin belajar dari model yang ditawarkan oleh Stephen Tong, Romo Mangun, dan Martin Luther King Jr. (tentunya ada banyak tokoh2 lain yang mana kita semua bisa belajar yang tidak saya sebutkan di sini) maka di masa yang akan datang lulusan2 seminari mendapatkan chance yang lebih besar untuk dapat lebih round up di dalam menjawab mandat injili dan budaya. Dan semakin menuju kepada pencapain hamba Tuhan yang ideal - scholar AND pastor.

No comments: