Friday, June 13, 2008

To Ask or Not To Ask

Pengalaman pergi ke dokter anak di Indonesia merupakan salah satu pengalaman saya yang paling tidak enak. Apalagi bila tanpa pemeriksaan yang teliti anak langusng divonis terkena MUNTABER, yang setelah dua hari diopname di rumah sakit diralat oleh sang dokter menjadi INFEKSI USUS. Padahal dokter ini adalah dokter yang cukup disegani dan dianggap ahli. Seperti kebanyakan umat manusia, para cendekiawanpun tidak lepas dari intaian ASUMSI. Ketika asumsi mengintai dan mulai menguasai mangsanya, maka sulit sekali untuk mangsa itu melepaskan diri. Bagaikan sekelompok singa yang sudah sigap di dalam mengintai dan menangkap mangsanya, demikianlah sistem kerja asumsi. Salah satu hal yang ditakuti oleh asumsi adalah suspending judgment. Hal lain yang disegani oleh asumsi adalah listening. Yang terakhir yang juga sangat dihormati oleh asumsi adalah careful observation. Bila ket iga hal ini digabungkan--suspending judgment, listening, careful observation--maka dapat diperkirakan asumsi
akan lari tunggang langgang. Tetapi tampaknya menggabungkan ketiganya bukanlah hal yang mudah.

Dokter yang disebutkan sebagai contoh di atas merupakan contoh riil dari bahaya asumsi. Si dokter hanya memeriksa tidak lebih dari 2 menit dan tanpa periksa darah atau periksa faeces dan kencing, tanpa bertanya lebih lanjut kepada orang tuanya, langsung memvonis MUNTABER dan memberi WARNING!!!! HARUS SEGERA MASUK RUMAH SAKIT - OPNAME SAMPAI BATAS WAKTU YANG DITENTUKAN OLEH DOKTER! Karena orang tuanya juga masih pertamakalinya mengurus anak, takut ada apa2, maka terpaksa mengikuti saran dokter ybs. Masuklah anak di rumah sakit, diopname, diinfus, dan harus puasa. Herannya si anak tidak seperti anak sakit muntaber, sebab hanya sebelum dibawa ke dokter hanya muntah empat kali beruntun, dan setelah itu tidak pernah muntah lagi, plus tidak ju ga berak ataupun the so called mencret. Alhasil si anak nangis keras2 minta makan, karena lapar. Tetapi apa boleh buat, si dokter sudah memberi perintah kepada suster untuk tidak memberi makan apapun. Esok paginya si dokter datang lagi
bertanya: Bagaimana Mencretnya? Orang tua menjawab: Dokter, anak ini tidak mencret bahkan sejak sebelum ke dokter juga tidak mencret. Dokter tidak berkomentar apa2, hanya bilang bahwa si anak mesti puasa lagi. Dokter lalu kasih instruksi ke suster untuk tes darah si anak, ingin tahu apa sih penyakitnya. Bukannya terlambat?? Lalu hasil tes menunjukkan bahwa sel darah putih ada peningkatan sedikit yang biasanya diinterpretasi sebagai adanya infeksi. Tetapi analisa muntaber tadi tidak terkonfirmasi. Lebih lagi, bahkan sebelum dites darah, si dokter sudah berani menulis resep obat antibiotik untuk diminum si anak. Tidak ada demam, tubuh tidak panas, juga tidak mencret, anak sudah diberi m inum antibiotik dan divonis muntaber???? Hello..... Lalu orang tua mencoba mulai bertanya kepada dokter mengenai sakit apa, terus boleh pulang kapan, dst. Rupanya dokter tidak suka ditanya banyak2 dan macam2. DOkter menjawab sepotong2 tanpa penjelasan yang baik. Maka tidak heran orang tua
akhirnya bertanya terus. DOkter akhirnya marah karena orang tua banyak bertanya, dan dokter bicara dengan keras: Saya juga sekolah di luar negri! Wait a second... apa hubungannya dokter?? ORang tua bertanya: Anak ini sakit apa, bagaimana analisanya kok bisa dikatakan muntaber padahal banyak indikasi yang tidak menunjukkan demikian, bolehkah dibawa pulang hari ini karena kelihatannya si anak tidak apa2, dll. Lha kok jawabannya demikian??? Karena merasa tidak nyaman dengan dokternya, dan juga kasihan dengan anaknya, maka orang tua memutuskan membawa pulang si anak. Karena keputusan orang tua itu, dokter tambah sewot, dan mengatak an: Resiko tanggung penumpang! Lalu titip sama suster untuk orang tua tanda tangan surat yang isinya bahwa anak dibawa pulang tanpa ijin dokter, dan karena itu dokter tidak bertanggungjawab atas apapun yang terjadi setelah itu. Singkat cerita, anak pulang, dan bisa langsung makan, esok paginya kondisinya sudah segar sekali karena bisa makan kenyang.
Fiuh.

WIld guest... ketika membandingkan biaya datang ke praktek dokter dengan bila membayar dokter kalau anak diopname, ternyata perbandingannya 1:4. Bila ke praktek dokter biasanya 100 ribu, maka bila anak diopname biaya dokter menjadi 400 ribu... hmmm ... mungkinkah?? Apakah rumor itu benar adanya?? Kesimpulan tidak conclusive, yah, karena itu demi keadilan ditinggalkan sajalah toh anak sudah sehat. Hanya saja hati jadi bertanya2, bagaimana jika pasien bukan orang yang mampu membayar sedemikian mahal, dan demi anak mereka rela bahkan hutang sana sini? Hati jadi bertanya lagi: Me ngapa dokter yang dikatakan memiliki bekal pendidikan sangat tinggi, berani mengambil tindakan tergesa2 tanpa listeing-careful observation-suspending judgment? Alias ber ASUMSI, yang notabene forbidden di dalam area science. Bukan hanya itu, bahkan cukup meresikokan si anak. Hati juga bertanya2, mengapa yang dikatakan dokter yang sudah mengalami pendidikan sangat tinggi, masih tidak suka ditanya oleh
orang tua pasien? Apakah takut dipinteri? Atau takut pasien tahu terlalu banyak, takut pasien pinter? WIld guest again.... inconclusive.

Pengalaman tadi membuat orang tua menjadi enggan berkonsultasi dengan dokter di Indonesia, entah mengapa ada insecurity bahwa dokter kurang mau ditanya2, dan kalaupun orang bertanya, dokter tidak betul2 menjawab, seakan takut pengetahuan itu tertransfer ke pasien, dan wild guest... takut pasien tidak kembali (tapi ini juga asumsi so toss it...). Apakah memang budayanya demikian di Indonesia, yaitu d okter tidak bisa salah? Keputusan dokter tidak boleh dipertanyakan? Dokter lebih paham dari orang tua akan anak, dan karena itu pendapat orang tua bisa di bypass? Masalah pendidikan? Apakah memang informal education di masyarakat berlaku hukum otoritarian? Atau masalah pendidikan formal sekolah kedokteran yang tidak pernah diajarkan interpersonal skills? Mungkin dua2nya? Thus, to ask or not to ask?

Observasi: dari pengalaman pergi ke dua dokter anak yang berbeda, dua2nya tidak cuci tangan sebelum dan sesudah memeriksa anak, atau tdiak memakai sarung tangan untuk memeriksa. Banyak aktifitas terjadi di antara spektrum tadi, termasuk yang pre dan post. Salah satunya, memegang uang - doctor fee. Habis pegang uang, maka pegang mulut anak, mata, dll. Belum lagi memegang anak yang sakit lalu memegang anak yang lain? Dokter? Tidak higienis?.... Wow.

Better to ask than not to ask. Dengan demikian ada interaksi, ada pertukaran pengetahuan, dan akhirnya ada stimulasi peningkatan level pengetahuan - baik dari pihak dokter maupun dari pasien. Not to ask merupakan salah satu outcome dictatorship yang akhirnya menjadi alat preservasi status quo. Ask and it will be given to you, bukankah itu yang dikatakan oleh Tuhan Yesus.

No comments: