Friday, June 13, 2008

To Believe or To Reason

Apakah agamawan mendasarkan worldview nya kepada iman saja tanpa rasio? Apakah ilmuwan mendasarkan worldview nya kepada rasio saja tanpa iman? Dua pertanyaan itu jawabnya TIDAK.

Rene Descartes membuat tonggak di mana rasio dan iman independen antara satu sama lain. Dengan keunikan argumentasinya yang dimulai dari doubt, dia berupaya membuktikan keberadaan Allah. Dengan demikian Descartes melandaskan pembuktian keberadaan Allah atas argumentasi logika saja. Tetapi bila diteliti lebih lanjut, upaya Descartes mengundang banyak pertanyaan, sebab di dalamnya banyak asumsi2 yang bisa diragukan. Misalnya ketika dia pada akhirnya menyimpulkan "I Think Therefore I AM," maka bisa ditanyakan "How do you know that you think? Why your thinking isn't an illusion? How do you know that when you think you exist?" Maka mau tidak mau Descartes seharusnya sudah memiliki presuposisi tertentu yang mendasari pemikirannya. Alvin Plantinga dan Nicholas Wolterstorff berargumentasi bahwa presuposisi dasar itu adalah Faith.

Secara khusus Plantinga menekankan bahwa faith itu basic. Dalam hal ini, Plantinga berbicara soal method dan bukan content dari knowledge. Di dalam argumentasi epistemolgi antara foundationalism, coherentism, atau warrantism, kesemuanya berbicara mengenai content. Faith itu basic, dan penjelasan akan hal ini sudah dimulai sejak Agustinus, yang diteruskan ke Anselm, Calvin, dst. Paul Hiebert di dalam konsep cirtical realism epistemology, memberikan penjelasan bahwa pembentukan grid kategori seseorang dimulai dengan iman dan bukan reason. Dia memberi contoh seorang anak yang baru pertama kali diajak oleh ibunya melihat bebek, maka baru pertama kali bertemu bebek, bertanya kepada ibunya: "Itu apa?" Maka ibunya menjawab: "Bebek." Dan si anak menerima dengan iman jawaban ibunya, dan di register kan ke dalam grid kategorinya. Dalam kenyataannya, si anak tidak meragukan ibunya, lalu lari ke perpustakaan mencari ensiklopedia untuk menyelidiki apakah benar binatang tadi itu bebek. Kalaupun dia konsultasi dengan ensiklopedia, bukankah jika dia menerima jawaban ensiklopedia itu, dia sudah menaruh iman kepada ensiklopedia itu? Kembali kepada ibu dan anak tadi. Mereka akhirnya bertemu dengan angsa, lalu si anak berteriak "Bebek, bebek!" sambil menunjuk kepada angsa. Si ibunya bilang: "Bukan, itu bukan bebek, itu angsa." Kembali si anak menerima dengan iman jawaban ibunya, dan me register kan jawaban itu ke dalam grid kategori nya. Demikian ketika seorang dewasa beroperasi, iman tetaplah menjadi landasan-thus faith is basic. Misalnya, di pengadilan ada kasus pembunuhan. Si A dituduh membunuh Z. Pisau yang dianggap dipakai untuk membunuh dijadikan bukti. Dikatakan pada pisau tsb ada sidik jari A, dan darah Z. Maka kelihatannya kesimpulan pasti konklusif bahwa A membunuh Z. Tetapi sistem pengadilan tidak bisa demikian, harus die stablish motive, dan membuktikan bahwa A memang membunuh Z. Dan usaha pembuktian ditimbang melalui STORY. Lho, bukankah evidence sudah nyata? Betul, tetapi evidence bisa dipalsu ataupun kesimpulan bisa keliru. Misal, pisau itu, atas dasar pisau itu sendiri tidak bisa membuktikan pembunuhan apa2. BIsakah ceritanya si Z bunuh diri, dan kebetulan A berada di sana untuk berusaha mencegah, dan memegang pisau tersebut, maka karenanya sidik jari A ada di sana? Atau, bisakah orang lain yang membunuh Z, dan menjebak A dengan meletakkan pisau yang ada sidik jari A di sana dan dilumuri darah Z? Lagi, bagaimana bisa yakin bahwa pisau itu ditemukan di tempat kejadian pembunuhan, dan bukan disisipkan setelahnya? Untuk hal ini, iman diletakkan kepada pihak kepolisian yang mencatat dan melaporkan apa2 yang ditemui di tkp. Oleh karena banyak hal yang tidak jelas itu, maka pembuktian harus melewati story. Pertanyaannya sekarang, story siapa y ang bisa lebih dipercayai? Mau tidak mau semua kembali kepada faith.

Lanjut, bila orang mempertanyakan historisitas Yesus atau Musa atau Abraham misalnya, maka dengan pertanyaan yang sama historisitas orang yang bertanya juga bisa dipertanyakan. [Heran, jarang orang mempertanyakan historisitas Napoleon atau Hitler misalnya. Atau, apakah WW2 benar2 terjadi?]. Misal, sederhana saja. Jika si A tidak percaya Yesus pernah ada di dunia ini, maka dengan sistem yang sama kakek buyut si A bisa dipertanyakan historisitasnya. Atau, untuk ilustrasi lebih jauh, bisa ditanyakan apakah si A memang anak dari K & L, orang2 yang sampai sekarang ini mengasuhnya dan terus berperan sebagai orang tua A? Ada yang menjawab ya, kan ada akte lahir. Hold on, bukankah akte lahir juga bisa dipalsu? Bagaimana tahu kalau akte lahir itu asli? Jawaban yang lebih baik adalah pada testimony K & L. Di dalam penjelasan filosofis, adalah reasonable bagi A mempercayai K & L, walaupun K & L bisa bohong. Dan justru irrational jika A tidak mempercayai K & L, orang yang sudah mengasuh dan berperan sebagai orang tua A. Jadi sistem knowledge orang tetap berpaku kepada iman atas testimony. Demikian juga ttg historisitas Yesus, Abraham, dan Musa - diestablish atas testimony dan bukan bukti fisik - seperti misalnya pakaian Yesus, rambut Yesus, tulang Yesus dll. Dan testimony dari orang Israel, para nabi, rasul, saksi mata, bapa gereja, umat Allah, malaikat, dan Allah sendiri. Ketika Yesus datang ke dunia ini, kesaksian datang dari semua pihak2 yang credible ini. Apalagi Allah yang memberikan testimony, maka bukan hanya irasional jika tidak mempercayai kesaksian Allah, tetapi berat konsekuensinya.

Tuhan tidak pernah memaksa orang untuk percaya. Hal ini terserah kepada manusia, mau percaya atau tidak - hanya saja semua tindakan atau non-tindakan memiliki konsekuensinya masing2 (hal yang mana ada pada God's wisdom). Jika orang kristen dituduh memaksakan imannya kepada orang lain, dhi non kristen, maka sebetulnya jika dilihat argumentasi balik dari pihak non-kristen, kelihatannya orang kristen yang sekarang dipaksa untuk percaya iman orang non kristen. How, then, do they differ from each other? They both operate in faith, although the faith is different. Jadi adalah salah kaprah jika berpikir bahwa orang Kristen hanya beroperasi dengan iman dan karenanya tidak rasional, sedangkan yang menolak iman kristen beroperasi secara rasional dan karenanya tidak bias oleh iman. Memang sulit menganalisa diri sendiri ketika sedang sibuk menganalisa orang lain.

Orang2 Kristen di segala tempat dan di sepanjang segala abad, termasuk Abraham, Musa, Daud, sampai sekarang, termasuk saya, bersaksi bahwa Yesus Kristus menjadi manusia untuk menyelamatkan manusia dari kematian kekal.

No comments: