Friday, June 13, 2008

Ujian Nasional: Standard Meningkat atau Bencana?

beberapa hari terakhir ini sering muncul di kompas ttg ujian nasional (un). intinya bicara ttg banyaknya murid yang tidak lulus gara2 un. khususnya yang disebut sebagai sekolah pinggiran itu tidak dapat mencegah gelombang dahsyat un ala tsunami ini. malahan di dalam berita2 juga ditampilkan kabar ttg murid2 yang sudah diterima di ptn atau bahkan universitas luar negri yg gak lulus un. depdiknas diguncang gempa skala 7 dalam proses pengujian kelulusan para murid. dpr mengusulkan untuk diadakan ujian ulang. lumayan juga rupanya respon dari dpr atas bencana nasional ini. sayangnya kalau dilihat dari pemahaman pendidikan yang sehat, esensinya bukanlah masalah uji ulang, tetapi apakah un itu pada tempatnya. memang secara politis un sudah dipatenkan melalui peraturan pemerintah. yang disayangkan adalah kelihatannya yang memproposalkan dan yang mematenkan kurang memahami dunia pendidikan. oh, atau justru itulah alat politis untuk ... hmm untuk apa ya? standardisasi nasional? sistem kontrol? hmm, mungkin sistem kontrol lebih tepat kelihatannya. soalnya kalau dipikir2, universitas tidak punya kekuatan apa2 untuk menerima murid yang dinyatakan lulus menurut peraturan pemerintah mengenai un. walaupun murid itu bila dilihat melalui hasil akademik sekolah yang sudah dilaluinya selama paling tidak 3 tahun itu adalah sangat baik menurut standard sekolah tsb, dan bahkan sudah bisa lulus umptn atau ujian2 lain untuk masuk universitas, tetap saja tidak bisa dianggap lulus hanya karena un yang dijalani selama kurang lebih 2 jam itu.

bila dicermati, un itu pakai sistem apa ya? hmm, multiple choice rupanya. jika multiple choice, apakah yang sedang diuji? akumulasi informasi ataukah kemampuan berpikir? akal yang sehat akan langsung menunjuk kepada akumulasi informasi. jika benar akumulasi informasilah yang diujikan di un, maka un sudah jauh menyimpang atau bahkan melawan tujuan pendidikan yang seharusnya. belum lagi jika melihat apa2 yang diujikan, matematika, bahasa? jadi jika mat atau bhsnya nilainya di bawah 4, sekian maka dianggap tidak lulus un. di dalam teori belajar yang yang kini sangat berkembang, ditemukan bahwa sekolah ternyata bermain favoritisme, yang mana hanya murid dengan intelegensia2 tertentu yang bakal berhasil di dalam dunia akademik. padahal ada jenis2 intelegensia2 lain yang dimiliki oleh sebagian besar murid yang lain yang disepelekan oleh sistem pendidikan formal. karena pendidikan formal dijadikan acuan untuk menilai keberhasilan seseorang di zaman modern ini, maka penilaian kepada seseorang ttg bodoh pintar digantung di atas sistem penilaian akademik yang bermain favoritisme ini. nah, un berada di ujung seleksi yang mana 2 jam pengujian tsb dapat menganulir apa2 yang dipelajari, dan apa2 yang sudah dicapai oleh murid2 selama kurang lebih 3 tahun di bangku sekolah. luar biasa juga alat seleksi yang namanya un ini.

apakah ujian ulang merupakan jawaban yang baik untuk katastropik macam demikian? kelihatannya kok tidak. jika diandaikan bencana un ini bagaikan bencana gempa yogya, maka ujian ulang itu bagaikan bantuan yang datang terlambat sebulan ke lokasi yang dilanda gempa. yang benar seharusnya adalah dihapuskannya un. sayang, usulan macam begini bakalan ditolak mentah2. bukankah sebelum un disahkan di dalam peraturan pemerintah sudah ada banyak protes supaya tidak ada un? mengapa pemerintah menolak pendiadaan un? jika hipotesa di paragraf sebelumnya benar adanya, maka jawabnya adalah pemerintah tidak mau lepas kontrol atas dunia pendidikan nasional. jika sampai sistem pendidikan nasional menjadi desentralisasi, maka pemerintah akan kehilangan banyak pegangan atas dunia pendidikan, yang mana adalah kendaraan yang sangat efektif untuk propaganda politik. jika sistem pendidikan nasional menjadi desentralisasi, maka sekolah2 swasta akan memiliki kurikulum2 mereka sendiri sesuai dengan warna keyakinan mereka masing2. now you all know where i'm going. yang jelas pemerintah tidak lagi bisa menekan sekolah2 swasta dengan peraturan pemerintahnya atau dengan undang2nya. implikasinya lagi adalah akan munculnya badan2 akreditasi independen menggantikan badan akreditasi nasional, sehingga tidak ada label sekolah itu disamakan atau diakui lagi, dst dst. yang ada adalah penyesuaian standard antar badan akreditasi yang ujungnya penyesuain standard pendidikan antar sekolah. sebetulnya adalah lebih baik jika ada badan akreditasi independen yang bermunculan di seluruh indonesia, sebab nantinya akan muncul sistem assessment yang unik dan bukan tidak mungkin menjadi kontekstual sesuai dengan kebutuhan tiap2 daerah. tentunya nantinya akan ada kompromi dan negosiasi di dalam seleksi masuk para murid yang berasal dari sekolah dengan badan akreditasi yang berbeda. secara otomatis juga nanti akan muncul badan assessment independen yang akan menyediakan tes2 macam sat (scholastic aptitude test) atau gre (graduate record examination) yang bisa dipakai oleh institusi2 pendidikan untuk menyeleksi mereka2 yang melamar masuk. tentunya akan ada banyak syarat2 yang lain di samping tes2 model sat (yang juga ada banyak kritik dan kelemahan di dalamnya). jika pendidikan di indonesia dijalankan dengan sistem desentralisasi, tampaknya gairah para profesional di dunia pendidikan dapat dimunculkan kembali. tentunya sistem desentralisasi bukan tanpa masalah. akan ada masalah2 yang timbul di mana2. tapi paling tidak, masalah tidak lagi diatasi atau didiskusikan dan diputuskan oleh sejumlah orang yang duduk di depdiknas. tetapi masalah akan diselesaikan sesuai dengan porsi masing2, entah itu nasional, provinsi, kotamadya, kabupaten, ataupun masing2 sekolah. well, dream is not always bad :).

hal lain, un menguji kelulusan dan bukan merupakan ujian seleksi untuk masuk suatu institusi pendidikan. dalam kata lain, un menyeleksi siapa2 yang berhak dan tidak berhak keluar dari suatu institusi pendidikan. dan melalui un masing2 institusi pendidikan tidak punya suara secuilpun. jika hasil un menunjukkan murid tidak lulus, maka kalaupun sekolah bilang murid itu top ranking, maka tetap saja murid itu tidak lulus. ini sistem hirarki, yang mana nasional lebih tinggi dari masing2 institusi. kata2 mereka yang adalah petinggi2 nasional lebih penting dari kata2 wilayah, kota, sekolah. ujung2nya siapa yang berkuasa dialah yang menang. maka tidaklah heran jika suara rakyat tidak pernah menang melawan suara pemerintah. dari satu bagian kecil seperti un saja sudah kelihatan betapa besar bagian kontrol yang dimiliki pemerintah, dan betapa luar biasanya demonstrasi kekuasaan pemerintah atas rakyat indonesia. hal secara demikian mirip sekali dengan protes paulo freire atas pemerintah brazil yang memanipulasi pendidikan menjadi kendaraan politik untuk membutakan dan menulikan rakyat brazil atas kebenaran.

un seharusnya dihapus. uu sisdiknas juga. sebelum 2 itu disahkan, protes bertebaran di mana2. tetapi pemerintah, yang punya kuasa, tidak bergeming sejengkalpun, maju terus pantang mundur, dan mensahkan dua2nya. dapatkah keputusan pemerintah dianulir? jika pada akhirnya dua2nya tidak bisa dianulir, maka ini hanya mengkonfirmasi kekuasaan pemerintah yang betul2 sangat besar. dan juga mengkonfirmasi bahwa sebenarnya tidak ada reformasi apa2 di indonesia. tetapi jika 2 hal itu akhirnya dianulir, maka indonesia ada harapan, sebab suara rakyat akhirnya dapat menentukan keputusan pemerintah. dan jika benar demikian, maka slogan bahwa rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi, keputusan akhir, adalah benar. maka, indonesia boleh dibilang adalah memang milik rakyat indonesia. tapi sekali lagi, jika tidak dapat dianulir, maka tampaknya indonesia bukanlah milik rakyat indonesia, melainkan adalah milik sebagian orang yang duduk di bangku pemerintahan.

No comments: